Gempa Membawa Hidayah
Suatu hari, hiduplah suatu keluarga yang selalu hidup berkecukupan. Akan tetapi, sang ayah dan anaknya dari keluarga tersebut memiliki peringai yang kurang baik. Mereka seolah lupa jika apa yang mereka miliki di dunia hanyalah sementara. Namun, sang ibu dari keluarga tersebut pun selalu mengingatkan dan terus berdoa agar mereka yang ia sayangi kembali kepada jalan yang benar.
Ibu : “Yah, sholat subuh dulu yuk. Sebentar lagi mataharinya sudah mau keluar tuh.”
Ayah : “Hmm…” (mengacuhkan)
Ibu : “Sholat dulu, yah…”
Ayah : “Haduh, kamu itu apa-apaan sih? Tidak pengertian sekali dengan suami. Suami kerja banting-tulang seharian dan baru ada kesempatan tidur sebentar, udah digangguin aja. Udah sana-sana!
Ibu : (sedih)
Saat Ibu, berusaha membangunkan sang suami, anaknya yang bernama Akbar pulang dalam keadaan mabuk. Lalu, sang Ibu dan Ayah menegurnya.
Ibu : “Astagfirullohalazim. Kamu kenapa nak?”
Ayah : “Akbar!!! Keterlaluan kamu. Anak gak tau diri.”
Akbar : “Apa-apaan sih? Berisik banget. Anak baru pulang bukannya disambut malah diomelin.”
Ayah : “Urus tuh anak kamu. Ngapain aja sih kamu dirumah? Didik anak aja gak becus.” (sambil meninggalkan Ibu dan Akbar)
Sang Ibu merasa sangat sedih melihat suami dan anaknya berperilaku seperti itu.
Ibu : “Ya Allah, maafkan suami dan anakku. Maafkan aku yang tidak dapat membimbing mereka ke jalan lurus-Mu.”
Kemudian, Ibu membeli sayur di tukang sayur. Pada saat itu, terdapat kedua orang tetangga yang sedang menggunjingkan kehidupan rumah tangganya.
Tetangga 1 : “Eh bu, tau gak? Si Ibu yang punya rumah gedongan ntu, kasian banget deh hidupnya.”
Tetangga 2 : “Eh iya iya. Saya denger-denger anak sama suaminya sama-sama gak bener nya.”
Tetangga 1 : “Iya bu..? Oh iya, tengah malam kemarin aja saya liat anaknya baru pulang dan macam orang mabok gitu, bu.”
Tukang sayur : “Ih ibu-ibu ini gosip mulu. Demen banget makan bangkai sodara sendiri.”
Tetangga 1 : “Ealah, mamang ini komentar aja. Padahal mah daritadi juga ikutan nguping pembicaraan kita. Ya gak, bu?
Tetangga 2 : “Iya, huu.. si mamang nih ikutan wae lah. Duh kasian, ya? Padahal Ibu nya orang baik loh. Rutin ikut pengajian juga. Gak disangka keluarganya sendiri malah hancur.”
Tukang sayur : “Hus hus hus.” (memberi tanda jika orang yang sedang dibicarakan datang) Mau beli sayur apa, bu? Masih seger-seger ini loh.”
Ibu : (mendengar pembicaraan ibu-ibu tadi, hatinya seperti teriris)
“Oh iya mang, sayur asem satu sama tempenya ya satu.”
Tukang sayur : “Iya bu, ditunggu sebentar yaa.”
Ibu : “Permisi ibu-ibu, saya duluan ya… “
Di sekolah, Akbar memiliki seorang teman yang selalu mengingatkannya. Dia semacam Ibu nya di sekolah. Ia bernama Ica.
Ica : “Akbar!!! Balik jam berapa lo kemaren? Nongkrong sama anak-anak gak bener lagi ya lo ?! Kan udah gue bilang mereka tuh cuma manfaatin lo. Gak kasian apa sama nyokap bokap lo?”
Akbar : “Ahhh ribet lo. Biarin lah yang penting gue hepi.”
Ica : “Hepi kata lo? Ngajak bolos, clubbing, foya-foya. Yang dilakukan mereka tuh cuma mau bikin hidup lo hancur doang. Dan inget ya, setiap perbuatan lo sekarang, apapun itu, bakal ada balesannya. Detik ini maupun nanti! Lo udah lupa materi adzab dunia dan akhirat kemaren?
Akbar : “Tenang itu mah masih nanti-nanti. Nikmatin yang sekarang-sekarang aja.”
Ica : “Bener-bener lu ya kalo dibilangin.”
Akbar : “Bodo amat.”
Di kantor, sang ayah sibuk dengan segala urusan pekerjaannya. Sekretarisnya pun sering mengingatkannya untuk sholat. Namun, diabaikannya.
Sekretaris : “Misi pak.. Maaf, Ibu tadi telpon katanya disuruh mengingatkan bapak untuk sholat.”
Ayah : “Bilang tuh sama Ibu, ngingetin sholat kok kayak ingetin minum obat. Rutin banget!”
Sekretaris : “Bersyukur loh pak, punya istri yang bimbing kita ke akhirat. Itu kan artinya beliau ingin terus dengan bapak sampai berkumpul di surgaNya kelak.”
Ayah : “Yaa, tapi kerjaan saya tuh numpuk. Ini kalo gak diselesaiin jadi nambah numpuk. Kalo saya gak kerja gini, mau dikasih makan apa orang dirumah.”
Sekretaris : “Soal rejeki mah itu Allah, pak, yang atur. Dibawa santai saja urusan dunia. Kejar urusan akhirat, insyaaAllah dunia pun mengikuti kok, pak.
Ayah : “Kok kamu jadi nasehatin saya begini? Mentang-mentang kamu sudah lama kerja sama saya, jadi seenaknya nasehatin saya gitu? Urus ada diri kamu sendiri.”
Sekretaris : (menjengkel didalam hati) “Yasudah, pak. Saya minta maaf. Jangan lupa ya, pak, habis ini ada meeting.”
Ayah : “Iya.” (ketusnya)
Di dalam ruang meeting.
Ayah : “Baik, jika sudah pada kumpul semua. Mari, kita mulai meetingnya. Bagaimana laporan penjualan minggu ini.”
Tiba-tiba, terasa guncangan yang begitu hebat dari dalam gedung kantor ayah. Semua yang di dalam gedung pun panik mencari tempat yang aman, tak terkecuali si Ayah.
Pegawai 1 : “Innalillahi, apaan nih?”
Pegawai 2 : “Eh eh gempa ini mah.”
Pegawai3 : “Ya Allah kenceng banget.”
Sekretaris : “Ayok, kita evakuasi diri. Jangan disini, bahaya kalau ada gempa susulan.”
Ayah : “Iya ayok, jangan panik juga semuanya.” (namun ia sendiri dalam keadaan panik)
Saat orang-orang didalam keadaan kantor mengevakuasi diri masing-masing
Sekretaris : “Bapak gak kenapa-kenapa ya kan? Bapak keliatan pucet banget sekarang.”
Ayah : “Iya iya saya gak apa-apa. Coba kamu telepon Ibu, saya khawatir sekali sama dia.”
Sekretaris : “Iya, pak, baik.”
Sekretaris ayah mencoba menelpon Ibu dirumah. Namun, telepon Ibu sedang tidak aktif.
Sekretaris : “Pak, maaf. Si Ibu nomornya lagi tidak aktif.”
Ayah : “Yaudah, saya coba telepon anak saya dulu.”
Sekretaris : “Iya, pak.”
Namun, si Akbar pun tak dapat dihubungi.
Ayah : “Saya mau pulang dulu, saya khawatir dengan mereka. Kamu tolong atur jadwal meeting ini lagi.”
Sekretaris : “Iya, pak. Siap. Hati-hati ya, pak.”
Lalu, pulanglah si ayah ke rumah.
Ayah : “Assalammua’alaikum, ibu…”
Ibu : “Wa’alaikumsalam, ayah. Eh kok sudah pulang?”
Ayah : “Saya khawatir kamu kenapa-napa. Kamu gapapa?” (khawatir)
Ibu : “Alhamdulillah, yah. Saya tidak apa-apa. Saya juga khawatir sama kamu dan Akbar.”
Ayah : “Gimana si Akbar? Apa dia tidak apa-apa? Saya coba hubungi dia tapi tidak aktif nomornya.”
Akbar pun seketika pulang kerumah.
Akbar : “Assalammu’alaikum. Ibuuu….”
Ibu dan Ayah : “Wa’alikumsalam.”
Ibu : “MasyaaAllah Alhamdulillah, kamu baik-baik aja, nak.”
Ayah : “Alhamdulillah kita masih dipertemukan bersama oleh Allah.”
Ibu : “Iya, yah. Alhamdulillah.”
Akbar : “Mungkin ini bisa jadi teguran dari Allah untuk aku, bu, yah.”
Ayah : “Iya, mungkin Allah juga tegur aku karena yang terlalu mengagungkan urusan duniawi. Sedangkan, lupa untuk mempersiapkan kehidupan akhirat kelak.”
Ibu : “Alhamdulillah Ya Allah. Kalian sadar juga dengan apa yang kalian lakukan. Allah itu Maha Baik, dia menegur hambaNya dengan cara yang gak pernah kita duga sebelumnya. Jangan pernah meragukan kematian dan adzab dari-Nya, karena lambat ataupun cepat itu pasti akan diberikan. Jadi, sebagai manusia ikuti aja perintahNya, insyaaAllah berokah.”
Ayah : “Iya bu, maafin sikap Ayah selama ini ya.”
Akbar : “Iya bu, aku juga. Masih jadi anak yang pembangkang bagi Ibu.”
Ibu : “Iya udah-udah, kalian udah ibu maafkan. Justru, kalian musti bersyukur, ini hidayah dari Allah lewat musibah seperti ini. Yasudah, kalian kumpul disana, nanti Ibu buatkan cemilan.”
Akbar : “Iya, bu. Ayok yah, kita nonton berita tentang gempa tadi.”
Ayah : “Iya, ayok.”
Akbar menyalakan tv. Akbar dan ayahnya menonton berita di tv yang menjelaskan peristiwa gempa tadi.
Presenter TV :
Gempa bumi kembali mengguncang Indonesia siang tadi sekitar pukul 12.34 WIB yang berpusat di Lebak, Banten dengan kedalaman 10 kilometer. Guncangan gempa dengan kekuatan 6,4 SR sangat dirasakan ini terjadi selama kurang lebih 2-3 menit. Walaupun tidak berpotensi tsunami, namun gempa ini membuat panik warga Jakarta dan sekitarnya. Di lansir dari seorang Hafidz Qur’an, Taqy Malik, ia mengungkapkan jika waktu gempa dapat dikaitkan dengan surat dalam Al Qur’an yang merujuk pada surat ke 13 ayat 34. Keberanaran daripada Al Qur’an memang tidak dapat dibantah dari segi pengetahuan sekalipun. Sekian, saya Ade Surya Ningsih, undur diri.
Ayah : “Innalillahi wa innailaihi roji’un. Allah memang Maha Besar ya, nak.”
Akbar : “Iya, yah.”
Ibu datang membawa cemilan.
Ibu : “Lagi pada ngomongin apa sih? Serius banget keliatannya.”
Ayah : “Ini loh, bu. Di berita, katanya ada yang mengkaitkan waktu terjadinya gempa tadi dengan ayat yang ada di Al-Qur’an.”
Ibu : “MasyaaAllah, iyakah? Al-Qur’an memang benar-benar sumber kebenaran.”
Ayah dan Akbar : Iya, masyaaAllah.”
Comments
Post a Comment